
”Kami mohon maaf kalau model, warna, dan ukuran yang tersedia tidak lengkap lagi. Yang ada hanya ukuran anak-anak dan yang besar-besar. Anda masih akan mengantre dua jam lagi.”
Begitu peringatan pegawai Crocs di awal antrean menuju hall lantai delapan Senayan City, Jumat (24/4).
Pemberitahuan habisnya sepatu produk China yang berada di bawah pemegang merek Colorado itu diungkapkan hampir setiap 10 menit sekali. Meski demikian, antrean kerumunan Crocs lovers alias pencinta sepatu atau sandal Crocs terus terlihat di areal lantai de- lapan.
Peringatan itu tidak mempan. Tidak ada orang yang meninggalkan antrean. Padahal, masih dua jam, dua lantai, dan sekitar 500 orang yang harus dilalui menuju lokasi Crocs Give Back.
Model-model terkenal dari Crocs, seperti sepatu dan sandal karet berlubang-lubang semacam Endeavor dan Hydro seharga Rp 550.000-Rp 699.000, dijual dengan diskon 70 persen. Ada juga diskon 30 dan 50 persen.
”Animo pengunjung jauh di atas ekspektasi kami, makanya kami sempat tambah kasir dari 15 jadi 27 orang,” kata Freddie Beh, Managing Partners-Creative Director PT Metrox Lifestyles, distributor Crocs.
Banyak pengunjung sudah mengantre sebelum mal Senayan City dibuka. Banyak yang kecewa karena antrean dibatasi sampai pukul 18.00. Pada hari pertama, antrean mencapai 2 kilometer dan perlu waktu lima jam. Tak sedikit yang datang lebih dari sekali. Keluar dari tempat penjualan, hampir pasti tangan kiri-kanan menenteng plastik hijau berisi produk Crocs.
Pembantu dan pengasuh anak dikerahkan. Bahkan, beberapa kereta bayi mengangkut Crocs yang membubung. Entah di mana bayinya.
Ada apa dengan Crocs?
Tin (55) duduk berselonjor kelelahan. Di sampingnya dua plastik berisi sepatu dan sandal buat keponakan dan cucunya. Dua temannya masih asyik memilih.
”Modelnya sebenarnya o’on, tapi semua di rumah saya pakai Crocs. Lagi pula orang lain punya, masa saya sendiri yang enggak,” kata warga Lebak Bulus, Jakarta Selatan, yang setahun terakhir memakai Crocs, ini.
Bambang (31), warga Depok, mengaku sudah lama tahu Crocs sebagai sepatu bolong-bolong berlambang buaya. Ia pernah membeli model yang sama dengan harga murah di Bata. Walaupun tahu ada barang tiruannya Rp 50.000 per pasang, Bambang tak tertarik gara-gara bahannya beda. Kaki bisa lecet. Begitu tahu dari kawannya kalau Crocs diskon gede-gedean, pria ini sepulang kantor segera ikut mengantre hampir dua jam.
Sementara Dion, siswa SMAN 78, bercerita, selama ini ia sering melihat kawannya memakai Crocs. Begitu ia mencoba, terasa nyaman. ”Kesannya santai, nyaman gitu,” katanya.
Kawannya, Aza, siswi SMAN 112, tidak menemukan model dan ukuran yang cocok. Ia mengaku telah mengoleksi enam pasang sepatu Crocs di rumah. ”Aku suka banget, warnanya bagus-bagus,” katanya.
Ayu, warga Bendungan Hilir, menyebut diskon ini penantian panjangnya. Memang tak masuk akal, hanya sepatu dan sandal karet harganya bisa mahal banget. Karena itu, mumpung diskon gede, ditambah ”dendam” antre berjam-jam, Ayu membeli enam pasang sekaligus.
Memilih di tengah produk yang ”dibiarkan” berantakan membuat konsumen tak segan- segan mengambil terlebih dahulu baru kemudian memilih. Tak heran, ada juga yang mengambil sepatu yang model dan warnanya sama, ternyata sama-sama sisi sebelah kanan.
Dunia konsumsi
Dulu, orang membeli sepatu atau sandal karena fungsinya sebagai alas kaki, bukan karena warnanya bagus atau bentuknya lucu. Namun, dunia konsumsi membongkar persepsi, yang ujungnya membuat kita mengonsumsi. Sementara harga menjadi sangat relatif alias kemahalannya dikontrol produsen.
”Ikutan tren juga sih, walau kalau dipikir-pikir, harganya gak worth it,” kata Charon Hukom (35), warga Bumi Serpong Damai, Tangerang, yang membeli empat pasang sepatu.
Sepatu dan sandal warna- warni itu, mulai dari hitam hingga merah muda dan oranye menyala, hadir lebih dari empat tahun lalu di Indonesia dengan iklan yang mengusung citra antibau, ergonomis, ringan, nyaman, dan antimikroba.
Freddie menyebutkan, Crocs mencitrakan diri sebagai sepatu yang bersifat ceria serta memberikan pemakainya kenyamanan dan kesehatan. ”Lewat acara ini, kami ingin bikin yang luar biasa. Kami ingin, dengan sepatu Crocs yang warna-warni, you can cover your life with colours,” katanya antusias.
Menurut Jean Baudrillard, filsuf Perancis yang suka menulis soal dunia konsumsi, agar bisa menjadi obyek konsumsi, sebuah benda harus menjadi simbol, bahkan memiliki pribadi.
Konsumen jadi merasa memiliki relasi pribadi dengan sebuah merek. Sebuah sepatu atau sandal tak lagi menjadi alas kaki, tetapi telah menjadi simbol dan bagian dari gaya hidup. Apa yang kita beli bukan produk sepatu. Karena kalau hanya sepatu atau sandal yang nyaman dan tidak bau, ada di mana-mana, bisa dibeli tanpa harus antre.
Apa yang kita inginkan adalah citra yang ditimbulkan sepatu dengan bentuk dan warna nyentrik untuk menunjukkan bahwa kita adalah pribadi unik dan menghargai kenyamanan.
Dunia konsumsi membuat eksistensi kita ditentukan bukan dari apa yang kita lakukan dalam interaksi dengan sesama, tetapi dari merek sepatu, tas, baju yang kita pakai, di mana kita makan, tinggal, dan berlibur.
Ada sekitar 70.000 pasang sepatu yang tersedia di acara Crocs Gives Back pada 21-24 April 2009. Sebagian besar adalah model dari musim lalu. Dari pengamatan, harga termurah sekitar Rp 120.000. Kalau rata-rata harga sepatu Rp 300.000, ada sekitar Rp 18,6 miliar uang yang beredar di sini.
”Acara diskon gede-gedean ini memang pertama kali dan diadakan di seluruh dunia. Tujuannya untuk bikin bisnis ritel punya energi baru di tengah economic crisis,” kata Freddie.
Pakar marketing, Rhenald Kasali, dalam buku terbarunya, Marketing in Crisis, menekankan agar berhati-hati melihat krisis. Daya beli menurun seakan dijungkirbalikkan Crocs.
Chief Creative Officer OMG Yoris Sebastian menyebutkan, pendorong penjualan Crocs adalah diskon.
Hanya dikatakan, hasil penelitian terbarunya tentang ”Word of Mouth Marketing” menyimpulkan bahwa satu konsumen akan menceritakan hal positif sebuah produk kepada tujuh orang lain. Namun, kalau produk itu buruk, seseorang berpotensi menceritakannya kepada 11 orang. Crocs tentu punya kesan tersendiri! (kom)
0 komentar:
Posting Komentar